Kamis, 07 Oktober 2010

Perbedaan antara Psikolog dengan Psikiater

Author: http://www.enformasi.com/2009/07/beda-psikolog-dan-psikiater.html

Bagi awam, kedua profesi ini kerap membingungkan. Bukan cuma itu, tidak sedikit yang merasa malu atau segan berkonsultasi dengan psikiater karena takut anaknya dianggap kurang waras. "Ini jelas sebuah kekeliruan," ujar Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Sp.KJ. "Psikiater tidak hanya menangani masalah gangguan jiwa berat, tapi juga ringan. Anak kecanduan main game pun dapat berkonsultasi dengan psikiater," lanjutnya.


Sementara terhadap psikolog, justru dianggap hanya menangani masalah yang ringan-ringan saja. Padahal, psikolog juga dapat menangani masalah gangguan jiwa berat. Seperti dipaparkan DR. Rose Mini A. Prianto, M.Psi., beberapa psikolog juga ada yang bertugas di rumah sakit jiwa atau klinik pascatrauma. Psikolog bisa melihat seberapa berat gangguan pasien dan apa yang dapat dilakukan psikolog untuk mengatasinya. Bisa saja psikolog melakukan terapi perilaku atau membuat pasien lebih tenang menjalani kehidupannya. "Jadi, tidak benar jika psikolog hanya menangani masalah yang ringan-ringan saja," tandas psikolog yang akrab disapa dengan panggilan Romi ini.


APA SIH BEDANYA?


Memang, ada beberapa hal yang membedakan psikolog dan psikiater, sebagaimana dijelaskan Dadang di bawah ini:


"Mungkin inilah poin penting yang membedakan psikolog dan psikiater," tandas Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini. Maksudnya, dalam hal penanganan masalah dimana psikiater boleh memberikan terapi obat-obatan (farmakoterapi).

Dalam kesehatan mental, terang Dadang, yang terganggu tidak hanya psikososial penderita tapi juga biologisnya sehingga memerlukan penanganan obat-obatan. Contoh kasus, anak yang mogok sekolah dengan disertai gangguan psikosomatis seperti sakit perut, sakit kepala, mual, muntah, dan pusing-pusing. Psikosomatis merupakan kelainan atau gangguan pada fisik yang disebabkan faktor psikis seperti stres.

Nah, dalam kasus ini, anak tidak hanya memerlukan konseling untuk mengetahui penyebab mogok sekolahnya—apakah ada konflik dengan guru atau teman, dan sebagainya—tetapi juga pemberian obat-obatan khusus untuk menangani gangguan psikosomatisnya. "Obat sakit kepala, mual, muntal tidak dibutuhkan karena tidak efektif, yang mereka butuhkan obat-obatan psikiatri yang cocok dengan dosis tepat."

Penggunaan obat-obatan juga lazim digunakan untuk anak-anak yang mengalami kecanduan, tidak hanya narkotika atau rokok, lo, tapi juga kecanduan lainnya seperti kecanduan bermain game. "Jika bermain game-nya sudah berlebihan bahkan sampai mengganggu sekolahnya, maka anak memerlukan terapi obat-obatan."


Penanganan psikiatri di seluruh dunia, ungkap Dadang, dilakukan dengan empat cara yang disingkat BPSS, yaitu Biologic (obat-obatan), Psychologic (konsultasi), social (penanganan sosial), dan spiritual (agama). "Keempat-empatnya harus dijalankan secara terpadu." Dadang lantas mencontohkan kasus anak yang mengalami stres karena konflik dengan teman. Dia harus mendapatkan penanganan lewat konsultasi, apa yang dapat dilakukan untuk meredakan ketegangan yang dialami, lalu diberikan obat-obatan agar anak tidak kelewat cemas dengan permasalahan yang dialami.

Begitu pun sosialnya, dengan melihat penyebab stres si anak lalu mencoba mengatasinya, apa yang dapat dilakukan anak/orangtua/guru untuk mengatasi konflik anak, membekali anak mengatasi konfliknya sendiri, dan lain-lain. Agama juga penting dijalani agar anak merasa tenang, seperti mengajarkan berdoa, beribadah, berbuat baik sehingga dicintai Tuhan serta akan memiliki banyak teman, dan sebagainya.

Sementara soal farmakoterapi, apakah anak memerlukan penanganan obat-obatan atau tidak, hanya dokterlah yang tahu. Dokter akan melihat sejauh mana berat ringannya penyakit, juga efektivitas pemberian obat-obatan tersebut. "Sebab, ada gangguan seperti stres atau trauma yang tetap memerlukan penanganan obat-obatan. Jika tidak diobati, gangguan itu selalu muncul. Anak yang tidak stabil, misalnya, dia enggan membuka diri, diajak ngobrol enggak mau, sering mengamuk, dan lain-lain. Jadi, gangguan itu harus diatasi terlebih dahulu. Setelah kondisi anak stabil, barulah dia bisa diterapi perilaku atau konsultasi, dan lain-lain," terang Dadang.


SALING BEKERJA SAMA


Meski ada perbedaannya, namun Romi menyarankan orangtua agar jangan terlalu bingung untuk memilih antara psikolog dan psikiater. Sebab, pada dasarnya kedua profesi ini, baik psikolog atau psikiater, mendalami ilmi kejiwaan dan juga ilmu perkembangan anak. Psikolog pun banyak yang mendalami ilmu kedokteran. Jadi, sebagian besar masalah yang bisa diatasi psikolog, dapat dilakukan juga oleh psikiater. Toh, jika memerlukan bantuan penanganan ahli lain, psikolog tetap akan mereferensikan anak agar berkonsultasi lebih lanjut kepada psikiater. Demikian pula sebaliknya.


Bahkan, dalam penanganan kasus tertentu, kerja sama keduanya sangat diperlukan. Misal, anak yang mogok sekolah, dilihat dulu adakah gangguan fisik yang menyertai. Jika ada gangguan seperti anak kurang vitamin, gangguan pencernaan, gangguan kecemasan, maka penanganan dokter atau psikiater diperlukan. "Bisa saja anak tidak mau sekolah karena pikirannya tertekan sehingga membutuhkan obat penenang. Sebab, jika anak belum tenang, sulit sekali memberikan treatment kepada anak." Namun jika tidak ada masalah fisik, maka bisa saja psikolog menangani masalah tersebut sendiri.


Meski begitu, dalam hal-hal tertentu ada kekhususan bidang yang digarap psikolog, seperti menangani masalah pendidikan anak. Contoh, bagaimana mengukur kemampuan anak seperti IQ, juga cara melejitkan potensi anak secara maksimal. "Jadi, psikolog tidak hanya menangani anak bermasalah, tapi juga memaksimalkan potensi diri anak," tukas Romi. Selain itu, tambahnya, psikolog juga dapat menangani masalah-masalah ringan di rumah, semisal tentang aturan dan disiplin di rumah, anak sulit makan atau tidak bisa makan sendiri; juga masalah kemandirian seperti anak belum bisa buang air kecil sendiri, serta masalah perilaku buruk anak semisal mengumpat, meludah, dan lain-lain. "Masalah-masalah ini mungkin lebih tepat ditangani psikolog," katanya.


Nah, kini sudah tak bingung lagi kan?!



KAPAN BERKONSULTASI?


Tentunya, selama permasalahan anak dinilai ringan dan orangtua merasa mampu serta tahu teknik menanganinya, maka tak masalah bila orangtua berusaha mengatasinya sendiri. Apalagi saat ini banyak media yang dapat memperluas wawasan orangtua tentang penanganan dan pengasuhan anak. Ada majalah, tabloid, milis-milis, bahkan parenting center di televisi ataupun seminar-seminar. Banyak orangtua yang terbantu, bahkan berhasil melakukan penanganan sendiri. "Namun jika orangtua kesulitan atau tidak mampu, tak ada salahnya meminta bantuan para ahli, dalam hal ini psikolog dan psikiater," kata Romi.


Nah, masalah apa sajakah yang perlu bantuan psikolog atau psikiater? Berikut di antaranya:
A. Adanya penyimpangan perilaku, di antaranya:


1. Sering bolos sekolah, tidak mau sekolah, atau mogok sekolah.

2. Terlibat kenakalan anak atau remaja, bahkan anak sempat dituntut di pengadilan. Bisa mencuri, melakukan kekerasan pada anak lain, atau kenakalan yang dianggap berlebihan lainnya.

3. Kerap ditegur guru atau diskors karena kelakuan buruknya.

4. Kabur atau mencoba beberapa kali kabur dari rumah.

5. Selalu berbohong.

6. Melakukan hubungan seks.

7. Tertangkap basah merokok.

8. Sering kali mencuri atau menyembunyikan barang milik orang lain.

9. Kerap merusak barang orang lain.

10. Prestasinya jeblok sehingga tidak naik kelas.

11. Tidak disiplin. Sering melawan orangtua, guru, dan sosok yang memiliki otoritas tinggi lainnya.

12 Sering berkelahi.

13. Kecanduan bermain game.


B. Memperlihatkan gejala-gejala stres dengan berbagai penyebab, antara lain:


1. Sulit tidur, sering mengompol, menurunnya nafsu makan, gagap, sering sakit perut, kerap sakit kepala, dan mimpi buruk.

2. Perubahan mood, asalnya periang mendadak murung.

3. Marah, menangis, atau takut berlebihan, mengisolasi diri atau enggan bergaul, dan lain-lain.

4. Sulit berkonsentrasi, gangguan pemusatan perhatian, sering melamun, dan lain-lain.

5. Temperamental, mengalami gangguan emosi.


C. Menunjukkan gejala autisma, gangguan pemusatan perhatian, hiperaktif, dan lain-lain.

Gejala autisma sendiri di antaranya tidak ada kontak mata, gangguan bicara, gangguan motorik, gagal melakukan hubungan sosial, tidak peduli dengan orang lain, berjalan jinjit, dan lain-lain.


D. Mengalami gangguan dan keterlambatan perkembangan.

Terlambat bicara, terlambat berjalan, dan keterlambatan lainnya.

Job Vacancy, Indonesia Job, Job Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar